Kamis, 10 November 2011

Pembahasan
A.       Budi Utomo (BU)
Budi Utomo adalah organisasi pergerakan modern yang pertama di Indonesia dengan memiliki struktur organisasi pengurus tetap, anggota, tujuan dan juga rencana kerja dengan aturan-aturan tertentu yang telah ditetapkan. Budi utomo pada saat ini lebih dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu STM yang memiliki siswa yang suka tawuran, bikin rusuh, bandel, dan sebagainya. Biasanya anak sekolah tersebut menyebut dengan singkatan Budut / Boedoet (Boedi Oetomo). Pada artikel kali ini yang kita sorot adalah Budi Utomo yang organisasi jaman dulu, bukan yang STM.
Budi Utomo didirikan oleh mahasiswa STOVIA dengan pelopor pendiri Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang bertujuan untuk memajukan Bangsa Indonesia, meningkatkan martabat bangsa dan membangkitkan Kesadaran Nasional. Tanggal 20 Mei 1908 biasa diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia.
  1. Latar belakang
Budi Utomo lahir dari inspirasi yang dikemukakan oleh Wahidin Soedirohoesodo disaat beliau sedang berkeliling ke setiap sekolah untuk menyebarkan beasiswa, salah satunya STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Sejak saat itu, mahasiswa STOVIA mulai terbuka pikirannya dan mereka mulai mengadakan pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan STOVIA oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.
Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa mereka membutuhkan sebuah organisasi untuk mewadahi mereka, seperti halnya golongan-golongan lain yang mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan mereka seperti Tiong Hoa Hwee Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib rakyat kecil kaum pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.
Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda, dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan, atau pendidikannya.
Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura, yang untuk mudahnya disebut saja suku bangsa Jawa. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi, dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa, terutama Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya. Dengan demikian, sekali lagi pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja karena, menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.
Sebagai suatu organisasi yang baik, Budi Utomo memberikan usulan kepada pemerintah Hidia Belanda sebagai mana berikut ini :
~     Meninggikan tingkat pengajaran di sekolah guru baik guru bumi putera maupun sekolah priyayi.
~     Memberi beasiswa bagi orang-orang bumi putera.
~     Menyediakan lebih banyak tempat pada sekolah pertanian.
~     Izin pendirian sekolah desa untuk Budi Utomo.
~     Mengadakan sekolah VAK / kejuruan untuk para bumi putera dan para perempuan.
~     Memelihara tingkat pelajaran di sekolah-sekolah dokter jawa.
~     Mendirikan TK / Taman kanak-kanak untuk bumi putera.
~      Memberikan kesempatan bumi putra untuk mengenyam bangku pendidikan di sekolah rendah eropa atau sekolah Tionghoa - Belanda.
Kongres pertama budi utomo diadakan di Yogyakarta pada oktober 1908 untuk mengkonsolidasikan diri dengan membuat keputusan sebagai berikut :
     Tidak mengadakan kegiatan politik.
     Bidang utama adalah pendidikan dan kebudayaan.
     Terbatas wilayah jawa dan madura.
     Mengangkat R.T. Tirtokusumo yang menjabat sebagai Bupati Karanganyar sebagai ketua.
Pemerintah Hindia-Belanda mengesahkan Budi Utomo sebaga badan hukum yang sah karena dinilai tidak membahayakan, namun tujuan organisasi Budi Utomo tidak maksimal karena banyak hal, yakni :
ü  Mengalami kesulitan dinansial
ü  Kelurga R.T. Tirtokusumo lebih memperhatikan kepentingan pemerintah kolonial daripada rakyat.
ü  Lebih memajukan pendidikan kaum priyayi dibanding rakyat jelata.
ü  Keluarga anggota-anggota dari golongan mahasiswa dan pelajar.
ü  Bupati-bupati lebih suka mendirikan organisasi masing-masing.
ü  Bahasa belanda lebih menjadi prioritas dibandingkan dengan Bahasa Indonesia.
ü  Pengaruh golongan priyayi yang mementingkan jabatan lebih kuat dibandingkan yang nasionalis.
Keterangan :
Bumi Putera adalah bukan bank atau lembaga keuangan bisnis lainnya, tetapi yang dimaksud dengan bumi putera adalah warga pribumi yang pada zaman dahulu dianggap sebagai warga tingkat rendah dibanding warga ras eropa, cina, arab, dan lain-lainnya.
B.       Indische Partij (IP)
Indische Partij (IP) didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Dr. Ernest Francois Eugene Douwes Dekker yang kemudian dikenal sebagai Dr. Danu Dirdjo Setia Budhi, Dr. Cipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat yang kemudian terkenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. EFE Douwes Dekker sendiri adalah cucu dari adik d Douwes Dekker penulis buku yang cukup terkenal “Max Haveelar” yang memuat kisah-kisah penderitaan “Saija dan Adinda” dengan menggunakan nama samaran Multatuli.
Sedangkan Dr. Cipto adalah anak seorang guru dan pernah dianugerahi bintang jasa “Ridder in de Orde van Oranje Nassau” oleh Ratu Wilhelmina karena keberaniannya bertugas di Kepajen dekat kota Malang tatkala berjangkit wabah pes disana. Ia seseorang yang pantang menyerah dalam menggapai cita-citanya dan terkenal dengan semboyannya “rawe-rawe rantas, malang-malang putung”. Dan Suwardi Suryaningrat adalah keturunan bangsawan, cucu dari Sri Paku Alam III. Awalnya bersekolah di STOVIA, namun tidak selesai dan karena bakat jurnalistiknya ia bersama Douwes Dekker mengasuh majalah “De Express”.
Menurut anggaran dasarnya, Indische Partij bermaksud membangun rasa cinta dalam setiap hati orang Hindia terhadap bangsa dan tanah airnya. Hal ini dilakukan dengan cara menyadarkan masyarakat dengan menghidupkan kembali harga diri, rasa mampu, dan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Dan dalam hal ini mereka menganjurkan suatu nasionalisme yang jauh lebih luas dari nasionalisme Boedi Oetomo. Dan cita-cita ini mereka ini disebarluaskan melalui Harian De Express.
Mengenai siapakah yang dimaksud dengan orang Hindia itu. Indische Partij berpendapat bahwa orang Hindia itu tidak hanya bumi putera saja, tetapi Indo-Belanda, Indo-Cina, Indo-Arab dan orang-orang yang dilahirkan di Hindia atau yang menganggap Hindia sebagai tanah airnya. Oleh karena itu sejarawan Ricklefs (2006) mengatakan bahwa Indische Partij yang sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Indo-Eropa, merupakan satu-satunya partai yang lebih banyak berpikir dalam kerangka nasionalisme (Indonesia) daripada dalam kerangka Islam, Marxisme ataupun ukuran-ukuran suku bangsa yang sempit.
Pada tahun 1913, ketika Belanda merayakan seratus tahun kemerdekaannya . Soewardi Soerjaningrat menulis sebuah artikel dalam Harian De Express (edisi 19 Juli) yang berjudul “Als ik eens Nerdelander was” (Sekiranya saya menjadi seorang Belanda). Isi tulisan tersebut kurang lebih sebagai berikut,
“Sekiranya saya seorang Belanda, maka saya tidak akan merayakan pesta-pesta kemerdekaan di dalam suatu negeri yang kami sendiri tidak sudi memberikan kemerdekaan negeri itu”
Akibatnya, oleh pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu dipimpin oleh Gubernur Jenderal A.F. van Idenburg, artikel itu dianggap menghasut dan akhirnya tiga serangkai diasingkan ke negeri Belanda.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah” De Indier” yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Para tokoh Indiche Partij kemudian kembali ke Hindia Belanda pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.P. Count of Limburg Stirum (1916-1921). Dr. Cipto sendiri telah kembali pada tahun 1914 karena alasan kesehatan. Setelah kembali, Douwes Dekker bergerak di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah yang diberi nama “Institut Ksatrian” yang berpusat di Bandung. Ki Hadjar Dewantara mengikuti jejak Douwes Dekker dengan mendirikan “Taman Siswa” di Yogyakarta. Sedangkan Dr. Cipto sendiri membuka praktek dokter di Bandung dan sempat menjadi anggota Volksraad tahun 1918.
Kemudian Indische Partij berubah namanya menjadi “Insulinde”. Dr. Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan.
Akibat propaganda Dr. Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.000 orang meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP)
Akan tetapi NIP rupanya tidak mendapat sambutan yang luas di masyarakat bumi putera karena masih banyak pemuda bumi putera yang takut secara terang-terangan menyatakan kemerdekaannya dan pihak Indo-Belanda masih ingin mempertahankan hak prerogatifnya sebagai warga negara kelas satu. Akibatnya banyak orang-orang Indo-Belanda yang keluar dari NIP dan membentuk partai sendiri yang sesuai dengan kepentingan mereka sendiri yaitu “Indo-Europeesch Verbong” (IEV).
Meskipun banyak ditinggalkan oleh anggotanya, sepak terjang tiga serangkai tidaklah surut. Kegiatan-kegiatan dalam bentuk tulisan dan propaganda yang dilakukan oleh ketiganya memperjuangkan kemerdekaan dan nasionalisme Hindia tetap merupakan ancaman bagi pemerintah kolonial, sehingga demikian pada tahun 1921 Nationaal-Indische Partij (NIP) dibubarkan.
C.      Partai Komunis Indonesia (PKI)
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948 dan dicap oleh rezim Orde Baru ikut mendalangi insiden G30S pada tahun 1965. Namun tuduhan dalang PKI dalam pemberontakan tahun 1965 tidak pernah terbukti secara tuntas, dan masih dipertanyakan seberapa jauh kebenaran tuduhan bahwa pemberontakan itu didalangi PKI. Sumber luar memberikan fakta lain bahwa PKI tahun 1965 tidak terlibat, melainkan didalangi oleh Soeharto (dan CIA). Hal ini masih diperdebatkan oleh golongan liberal, mantan anggota PKI dan beberapa orang yang lolos dari pembantaian anti PKI. Setidaknya lebih dari lima teori berusaha mengungkap kejadian tersebut. Namun teori-teori yang terkadang saling berlawanan menjadikanya diskusi besar sampai hari ini.

a.       Latar belakang sejarah

·         Sebelum Revolusi Indonesia

1)       Gerakan Awal PKI

Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda
Pada Oktober 1915 ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka".
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia. Pada 1919, ISDV hanya mempunyai 25 orang Belanda di antara anggotanya, dari jumlah keseluruhan kurang dari 400 orang anggota.

2)       Pembentukan Partai Komunis

Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.
PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
D.      Partai Nasional Indonesia (PNI)
PNI atau Partai Nasional Indonesia adalah partai politik tertua di Indonesia. Partai ini didirikan pada 4 Juli 1927 dengan nama Perserikatan Nasional Indonesia dengan ketuanya pada saat itu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo.
Biro Chusus (BC) Partai Komunis Indonesia (PKI) memegang peranan sangat penting dalam peristiwa G30S, biro ini menangani aspek teknis operasional dari keseluruhan program G30S yang dibidani oleh Politbiro dan CC PKI terutama oleh ketua CC PKI sendiri, Aidit.
BC dibentuk oleh Aidit pada paruh kedua tahun 1964 atas nasehat Menteri Luar Negeri Cina, Chou En Lai. Chou mendesak Aidit untuk membentuk badan itu yang mana dapat digunakan untuk menangani aksi-aksi rahasia partai yang dengan demikian aksi-aksi rahasia itu dapat dipisahkan dari politik resmi partai.
Sebagai pimpinan BC ini, Aidit mengangkat Syam (Kamaruzaman) yang bertugas untuk mencari orang-orang yang bersimpati pada partai dalam Angkatan Darat (AD). Orang nomer dua Pono, yang bertugas mencari di Angkatan Laut (AL) dan Kepolisian (AK) serta orang nomer tiga adalah Walujo yang bertugas mencari di Angkatan Udara (AU) dan intelejen.
Pendidikan dan indoktrinasi perwira yang telah direkrut berada di tangan Ramin, Sujono Pradigdo dan Ismail. Sedangkan Suwandi bertugas sebagai sekretaris BC.
Biro itu diciptakan dengan tujuan jelas, yaitu menginflitrasi Angkatan Bersenjata, mendirikan sel-sel rahasia di unit-unit mereka yang terdiri dari perwira yang bersimpati dengan PKI dan menetralisir orang-orang yang memusuhi partai. Namun demikian harus ditekankan bahwa konstitusi PKI dengan jelas sekali melarang rekrutmen para perwira AB untuk menjadi anggota langsung Partai.
Meski BC itu bukanlah sebuah badan PKI yang sesuai dengan statuta yang tercantum dalam konstitusinya, menurut Njono, Politbiro telah menyetujui laporan Aidit pada tahun 1964 bahwa ia telah mendirikan organisasi BC ini untuk membantu melaksanakan tugasnya dalam ‘masalah-masalah’ militer.
Pada awalnya dibentuknya, BC ini merupakan kewenangan Aidit, namun pada rapat Politbiro PKI tanggal 28 Agustus 1965, Aidit meletakkan tanggung jawab BC di tangan Dewan Harian Tetap Politbiro yang terdiri dari Aidit, Lukman, Njoto dan Sudisman, meskipun demikian Aidit tetap merupakan juru bicara satu-satunya.
Struktur organisasi BC itu terdiri dari Biro Pusat di Jakarta, Biro Regional di setiap provinsi, para koordinator dan tutor yang mendidik para rekrutmen serta kelompok dan sel lainnya. Biro Regional terdiri dari 2-3 pemimpin yang melakukan perekrutan terhadap AB dan orang-orang lain untuk meningkatkan kepentingan PKI. Salah satu cara perekrutan adalah mengadakan suatu seminar/pelatihan khusus yang mana perwira AB yang ikut dalam pelatihan itu diajarkan Marxisme-Leninisme, Psikologi, Sosiologi dan mata pelajaran lain.
Dan perlu diketahui bahwa awal tahun 1965, Aidit dan BC-nya mulai meletakkan dasar-dasar untuk melawan komando puncak AD yaitu dengan cara: (1) Mencemarkan komando itu dengan tuduhan terlibat dalam konspirasi menentang RI, karena bekerja sama dengan Inggris dan Amerika. (2) menuduh komando puncak AD itu telah mendirikan ‘Dewan Jenderal’ yang bertujuan menggulingkan Presiden Sukarno dan dasar-dasar lainnya.
Di tahun 1965 sendiri, menurut Sjam, BC yang memiliki 44 anggota tetap di 12 Provinsi telah merekrut dan mengendalikan kurang lebih 700 perwira. Diantara beberapa perwira yang penting (yang nantinya berperan aktif pada peristiwa G30S) yang berhubungan dengan Biro Chusus PKI adalah :
ü  Letnan Kolonel Untung, Tjakrabirawa, yang secara ideologi adalah seorang Komunis sejak pemberontakan PKI tahun 1948 (kemudian dihukum mati dan dieksekusi pada tahun 1966)
ü  Mayor Jenderal Pranoto (kemudian ditahan dari tahun 1966 sampai 1981)
ü  Brigadir Jenderal Supardjo (kemudian dihukum mati dan dieksekusi)
ü   Kolonel Latief, Komandan Brigade Inf. I dari Kodam V (dipenjara tahun 1965, dijatuhi hukuman mati tahun 1982, dibebaskan atas grasi presiden tahun 1998.
ü  Laksamana Madya Udara Omar Dhani (divonis hukuman mati tahun 1966, dibebaskan 1995)
ü  Mayor Sujono, Komandan Pangkalan Udara Halim (dihukum mati tahun 1966 dan dieksekusi)
a.       Kronologis PNI
  • 1927 - Didirikan di Bandung oleh para tokoh nasional seperti Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Selain itu para pelajar yang tergabung dalam Algemeene Studie Club yang diketuai oleh Ir. Soekarno turut pula bergabung dengan partai ini.
  • 1928 - Berganti nama dari Perserikatan Nasional Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia
  • 1929 - PNI dianggap membahayakan Belanda karena menyebarkan ajaran-ajaran pergerakan kemerdekaan sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan perintah penangkapan pada tanggal 24 Desember 1929. Penangkapan baru dilakukan pada tanggal 29 Desember 1929 terhadap tokoh-tokoh PNI di Yogyakarta seperti Soekarno, Gatot Mangkupraja, Soepriadinata dan Maskun Sumadiredja
  • 1930 - Pengadilan para tokoh yang ditangkap ini dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1930. Setelah diadili di pengadilan Belanda maka para tokoh ini dimasukkan dalam penjara Sukamiskin, Bandung.  Dalam masa pengadilan ini Ir. Soekarno menulis pidato "Indonesia Menggugat" dan membacakannya di depan pengadilan sebagai gugatannya.
  • 1931 - Pimpinan PNI, Ir. Soekarno diganti oleh Mr. Sartono. Mr. Sartono kemudian membubarkan PNI dan membentuk Partindo pada tanggal 25 April 1931.[3] Moh. Hatta yang tidak setuju pembentukan Partindo akhirnya membentuk PNI Baru. Ir. Soekarno bergabung dengan Partindo.
  • 1933 - Ir. Soekarno ditangkap dan dibuang ke Ende, Flores sampai dengan 1942.
  • 1934 - Moh. Hatta dan Syahrir dibuang ke Bandaneira sampai dengan 1942.
  • 1955 - PNI memenangkan Pemilihan Umum 1955.
  • 1973 - PNI bergabung dengan empat partai peserta pemilu 1971 lainnya membentuk Partai Demokrasi Indonesia.
  • 1998 - Dipimpin oleh Supeni, mantan Duta besar keliling Indonesia, PNI didirikan kembali.
  • 1999 - PNI menjadi peserta pemilu 1999.
  • 2002 - PNI berubah nama menjadi PNI Marhaenisme dan diketuai oleh Sukmawati Soekarno, anak dari Soekarno.
  1. Tokoh-tokoh dan mantan tokoh-tokoh
  1. Partai-Partai Penerus


E.       Partai Indonesia Raya (PARINDRA)
Partai Indonesia Raya atau Parindra adalah suatu partai politik yang berdasarkan nasionalisme Indonesia dan menyatakan tujuannya adalah Indonesia Mulia dan Sempurna (bukan Indonesia Merdeka). Parindra menganut azas cooperatie alias bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda dengan cara duduk di dalam dewan-dewan untuk waktu yang tertentu.

    Sejarah

Dr. Soetomo, salah seorang pendiri Budi Utomo, pada akhir tahun 1935 di kota Solo, Jawa Tengah berusaha untuk menggabungkan antara PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), Serikat Selebes, Serikat Sumatera, Serikat Ambon, Budi Utomo, dan lainnya, sebagai tanda berakhirnya fase kedaerahan dalam pergerakan kebangsaan, menjadi Partai Indonesia Raya atau Parindra. PBI sendiri merupakan klub studi yang didirikan Dr. Soetomo pada tahun 1930 di Surabaya, Jawa Timur.

    Tokoh

Tokoh-tokoh lain yang ikut bergabung dengan Parindra antara lain Woeryaningrat, Soekardjo Wirjopranoto, R. Panji Soeroso dan Mr. Soesanto Tirtoprodjo.
    Pergerakan PARINDRA
Parindra adalah suatu partai politik yang berdasarkan nasionalisme Indonesia dan menyatakan tujuannya adalah Indonesia Mulya dan Sempurna (bukan Indonesia Merdeka). Parindra menganut azas “cooperatie” alias bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda dengan cara duduk di dalam dewan-dewan untuk waktu yang tertentu.
Di kemudian hari partai ini bertambah maju dan mulai berpengaruh di masyarakat Indonesia. Parindra berusaha menyusun kaum tani dengan mendirikan “Rukun Tani”, menyusun serikat pekerja perkapalan dengan mendirikan “Rukun Pelayaran Indonesia” (Rupelin), menyusun perekonomian dengan menganjurkan “Swadeshi” (menolong diri sendiri), mendirikan “Bank Nasional Indonesia” di Surabaya, serta mendirikan percetakan-percetakan yang menerbitkan surat kabar dan majalah.
Kegiatan Parindra ini mendapat semakin mendapatkan dukungan dari Gubernur Jenderal yang baru, van Starkenborg, yang menggantikan de Jonge pada tahun 1936. Gubernur Jenderal van Starkenborg memodifikasi “politiestaat” peninggalan de Jonge, menjadi “beambtenstaat” (“negara pegawai”) yang memberi konsensi yang lebih baik kepada organisasi-organisasi yang kooperatif dengan pemerintah.
Pada tahun 1937, Parindra mengaku memiliki anggota 4.600 orang. Pada ahir tahun 1938, 11.250 orang. Anggota ini sebagian besar di Jawa, dimana Jawa Timurlah konsentrasi pengikutnya yang terbesar. Pada bulai Mei 1941 (menjelang perang Pasifik), Partai Indonesia Raya ini menyatakan punya anggota sebanyak 19.500 orang.
Ketika Dr. Soetomo meninggal pada bulan Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra digantikan oleh Moehammad Hoesni Thamrin, seorang pedagang dan anggota “Volksraad”. Sebelum menjadi ketua Parindra, Moehammad Hoesni Thamrin telah mengadakan kontak-kontak dagang dengan Jepang. Dan ia memainkan “kartu Jepang” ketika ia berada di panggung politik “Volksraad”.
Karena aktifitas politiknya yang menguat dan kedekatannya dengan Jepang, pemerintah Hindia Belanda menganggap ia lebih berbahaya daripada Soekarno. Maka pada tanggal 9 Februari 1941, rumah Moehammad Hoesni Thamrin digeledah oleh PID (dinas rahasia Hinda Belanda) ketika ia sedang terkena penyakit malaria, selang dua hari kemudian Muhammad Husni Thamrin menghembuskan nafas yang terakhir. Penyebab kematiannya masih merupakan teka-teki hingga saat ini.
Salah satu bukti kedekatan Parindra dengan Jepang yaitu ketika Thamrin meninggal dunia, para anggota Parindra memberikan penghormatan dengan mengangkat tangan kanannya. Bukti lain adalah pembentukan gerakan pemuda yang disebut “Surya Wirawan” (Matahari Gagah Berani), yang disinyalir nama ini bertendensi dengan negara Jepang.
Dengan demikian Parindra digambarkan sebagai partai yang bekerjasama dengan pemerintahan Hindia Belanda di awal berdirinya, akan tetapi dicurigai di akhir kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia pada tahun 1942 sebagai partai yang “bermain mata” dengan Jepang untuk memperoleh kemerdekaan.
F.       Perhimpunan Indonesia (PI)
Semula, gagasan nama indonesisch (Indonesia) diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).
Pada September 1922, saat pergantian ketua antara Dr. Soetomo dan Herman Kartawisastra organisasi ini berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Saat itu istilah "Indonesier" dan kata sifat "Indonesich" sudah tenar digunakan oleh para pemrakarsa Politik Etis. Para anggota Indonesische juga memutuskan untuk menerbitkan kembali majalah Hindia Poetra dengan Mohammad Hatta sebagai pengasuhnya. Majalah ini terbit dwibulanan, dengan 16 halaman dan biaya langganan seharga 2,5 gulden setahun. Penerbitan kembali Hindia Poetra ini menjadi sarana untuk menyebarkan ide-ide antikolonial. Dalam 2 edisi pertama, Hatta menyumbangkan tulisan kritik mengenai praktek sewa tanah industri gula Hindia Belanda yang merugikan petani.
Saat Iwa Kusumasumantri menjadi ketua pada 1923, Indonesische mulai menyebarkan ide non-kooperasi yang mempunyai arti berjuang demi kemerdekaan tanpa bekerjasama dengan Belanda. Tahun 1924, saat M. Nazir Datuk Pamoentjak menjadi ketua, nama majalah Hindia Poetra berubah menjadi Indonesia Merdeka. Tahun 1925 saat Soekiman Wirjosandjojo nama organisasi ini resmi berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta menjadi Voorzitter (Ketua) PI terlama yaitu sejak awal tahun 1926 hingga 1930, sebelumnya setiap ketua hanya menjabat selama setahun. Perhimpunan Indonesia kemudian menggalakkan secara terencana propaganda tentang Perhimpunan Indonesia ke luar negeri Belanda.
Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota organisasi ini antara lain: Achmad Soebardjo, Soekiman Wirjosandjojo, Arnold Mononutu, Prof Mr Sunario Sastrowardoyo, Sastromoeljono, Abdul Madjid, Sutan Sjahrir, Sutomo, Ali Sastroamidjojo, dll.
G.      PNI Baru 1931
Setelah dipecat dari Perhimpunan Indonesia di Belanda oleh kader-kader komunis (seperti Rustam Effendi, Setiadjid dan Abdul Madjid) dalam suatu rapat pleno tanggal 27 November 1931, Hatta dan Sjahrir memulai suatu perjuangan baru yaitu bergabung dengan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) yang bertujuan kearah Indonesia Merdeka.
Sebelumnya, pada tanggal 22 Desember 1930, Pengadilan Negeri Bandung menghukum empat orang pemimpin PNI yaitu, Soekarno, Gatot Mangkupradja, Maskoen dan Soepriadinata. Keempat orang tersebut naik banding, namun pada tanggal 17 April 1931 Raad van Justitie Batavia mengukuhkan keputusan Pengadilan Negeri Bandung dengan tetap menghukum penjara keempat pemimpin PNI tersebut.
Pengurus besar PNI atas anjuran Mr. Sartono, berkenaan dengan keputusan pengadilan negeri Bandung tersebut, mengusulkan pembubaran PNI dan sebagai gantinya mereka mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Namun demikian kejadian tersebut ditentang oleh beberapa tokoh PNI lainnya seperti Soedjadi Moerad, Kantaatmaka, Bondan, Soekarto dan Teguh. Mereka menolak bergabung dengan Partindo dan membentuk dalam daerahnya masing-masing “Golongan Merdeka”.
Soedjadi Moerad yang sudah lama berkorespondensi dengan Hatta yaitu sejak sebelum didirikannya PNI (tanggal 4 Juli 1927) menyampaikan sikap mereka kepada Hatta, yaitu tentang bubarnya PNI dan pembentukan “Golongan Merdeka”. Bagi Hatta pembubaran PNI melemahkan pergerakan rakyat.
Mohammad Hatta kemudian membuat kesepakatan dengan Soedjadi Moerad, untuk menerbitkan majalah yang diterbitkan sekali dalam 10 hari guna pendidikan kader baru. Hatta mengusulkan majalah itu diberi nama “Daulat Rakjat”, yang mempertahankan asas kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan politik, perekonomian dan pergaulan sosial. Kemudian Hatta dan Sjahrir bermufakat agar Sjahrir pulang ke Indonesia pada Bulan Desember 1931 untuk membantu “Golongan Merdeka” serta membantu “Daulat Rakjat”.
Pada tanggal 25-27 Desember 1931 (menurut Soebadio Sastroastomo diadakan pada bulan Februari 1932) sebuah konferensi diadakan di Yogyakarta untuk merampungkan penyatuan golongan-golongan Merdeka yang mana kelompok tersebut kemudian diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI-Baru dengan Soekemi sebagai ketuanya. Sjahrir terpilih sebagai ketua cabang Jakarta dan sekretaris cabangnya adalah Djohan Sjahroezah.
Kemudian dalam Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang berlangsung di Bandung Sjahrir terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan Nasional Indonesia menggantikan Soekemi. Dalam kongres itu dirumuskan bahwa PNI Baru sebagai suatu partai politik yang merupakan partai kader. Keputusan bahwa PNI Baru adalah sebagai partai kader setelah mengalami diskusi yang cukup panjang dan rumit yang pada akhirnya argumentasi Sjahrir yang cukup kuat untuk membawa PNI Baru sebagai partai kader dapat diterima oleh sebagian besar pengurus. Dan dengan pulangnya Hatta pada awal tahun 1933, Pimpinan Umum PNI Baru diserahkan oleh Sjahrir kepada Hatta.
Dimasukkannya kata ‘Pendidikan’ ke dalam nama partai mengandung maksud yang serius. Sebagian besar kegiatan partai ini adalah menyelenggarakan pendidikan politik bagi para anggotanya, yang sebagian dilakukan melalui halaman-halaman “Daulat Rakjat” dan tulisan-tulisan lain, termasuk risalah “Kearah Indonesia Merdeka”-KIM yang secara khusus ditulis oleh Hatta sebagai semacam manifesto pergerakan itu.
Arah sentral pendidikan diungkapkan ke dalam 150 pertanyaan di dalam KIM yang mencakup banyak aspek politik, ekonomi dan sosial. Beberapa pertanyaan dalam KIM diantaranya :
v  Apa tujuan PNI baru ?
v  Apa yang dimaksud dengan nasionalisme ?
v  Apa yang dimaksud dengan demokrasi ?
v  Apa itu parlemen ?
v  Apa yang dimaksudkan oleh Montesqieu dengan otokrasi, oligarki dan revolusi ?
v  Siapakah Rousseau dan apa yang diajarkannya ?
v  Apa itu Revolusi Industri ?
v  Apakah kartel itu ?
v  Bagaimana sifat kombinasi vertikal ? Bagaimana pula kombinasi horisontal ?
v  dan lainnya
Jawaban-jawabannya juga diberikan, seperti, “Apa tujuan PNI (baru) ?”, jawabannya, “Tujuan kita adalah merdeka 100% !”.
Secara keseluruhan, jawaban-jawaban itu mengandung suatu doktrin yang jelas walaupun sederhana, bahwa kekuasaan politik didistribusikan menurut distribusi kekuasaan ekonomi dalam suatu masyarakat, bahwa kebebasan politik tanpa persamaan di bidang ekonomi sangatlah terbatas dan bahwa kemerdekaan Indonesia baru merupakan realita jika disertai perubahan ekonomi, sebagaimana pertanyaan (kunci) sebagai berikut,
“Mengapa demokrasi politik saja tidak cukup ?”. Jawabannya, “Demokrasi politik saja tidak cukup karena ia akan dilumpuhkan oleh otokrasi yang masih ada di bidang-bidang ekonomi dan social. Mayoritas rakyat masih menderita di bawah kekuasaan kaum kapitalis dan majikan”.
Suasana dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Pendidikan Nasional Indonesia dan kesungguhan anggota-anggotanya mengingatkan banyak orang kepada “Workers Educational Association” (WEA-Perhimpunan Pendidikan Kaum Buruh) yang berusaha memberikan pendidikan kepada masyarakat Inggris pada akhir abad 19. WEA mempunyai ikatan-ikatan yang kuat dengan gerakan Fabian dan sebagian kegiatannya adalah memberikan pendidikan sosialis.
Meskipun anggota PNI Baru bukan terdiri dari kelas pekerja, karena sebagian besar mereka adalah berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan suatu pendidikan politik yang berwarna sosialis yang akan membawa mereka melampaui batas-batas gaya agitasi nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini, PNI Baru, dibawah kepemimpinan Hatta dan Sjahrir, mengembangkan suatu pandangan dunia yang khas dan suatu cara yang unik dalam membahas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pergerakan kebangsaan.
Yang pasti PNI Baru memiliki pandangan yang berbeda dengan PNI Lama ataupun Partindo. PNI Baru bersikap kritis dengan terhadap watak PNI Lama dan Partindo seperti gaya agitasi yang ekspresif dan mempertahankan persatuan nasional tanpa syarat. Bagi Hatta dan Sjahrir, persatuan tidak ada artinya kecuali apabila didasarkan pada pengertian atas prinsip-prinsip bersama.
PNI Baru, menurut Benhard Dahm, banyak berhutang kepada tradisi sosial demokrasi Eropa. Ciri khasnya adalah pengutamaan terhadap teori sosial sebagai suatu pedoman aksi, adanya koherensi pada pandangan dunianya yang merangkul analisis-analisis tentang kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang saling melengkapi dan berusaha untuk menempatkan kemalangan Indonesia dalam suatu gambaran global. Tentu saja harus diakui bahwa sejauh menyangkut analisis-analisisnya mengenai imperialisme dan tatanan sosial, PNI Baru tidak memiliki monopoli ideologis.
Kesadaran diri akan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme melalui kegiatan intelektual masih mempunyai arti penting pada tahun 1948 ketika anggota-anggota PNI Baru yang masih hidup, bersama-sama dengan orang yang sependirian dan generasi yang lebih muda keluar dari Partai Sosialis untuk mendirikan PSI.
Karena kegiatan aktivitas politik PNI Baru yang dinilai mulai membahayakan bagi pemerintah kolonial Belanda maka pada tanggal 25 Februari 1934 jajaran teras PNI Baru seperti Hatta, Sjahrir, Bondan, Burhanuddin, Murwoto, Soeka, Hamdani, Wangsawidjaja, Basri, Atmadipura, Oesman, Setiarata, Kartawikanta, Tisno, Wagiman dan Karwani ditangkap. Sekitar bulan Januari 1935, Hatta, Sjahrir dan beberapa pimpinan PNI Baru diasingkan ke Boven Digoel.
H.      Sarekat Islam